Kesederhanaan di Wae Rebo

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Ya, pepatah ini hendaknya diterapkan kemana pun kaki melangkah, terutama di tempat yang masih asing bagi kita. Tiba di Wae Rebo pun, saya tidak langsung jeprat jepret ambil gambar. Saya dan rombongan langsung menuju ke rumah utama yang disambut oleh ketua adat di kampung Wae Rebo ini.  Mereka satu persatu berkenalan berjabat tangan sambil berjalan jongkok memperkenalkan nama dengan ramah. Ketua rombongan dan guide kita pun mulai menjelaskan maksud kedatangan dan meminta izin untuk mengambil potret kehidupan warga Wae Rebo. Konon, kalau si empunya wilayah nggak merestui tamunya, foto-foto yang diambil akan tidak jadi alias rusak. Percaya nggak percaya sih. Tapi nggak ada salahnya mentaati aturan dari mereka. Di rumah utama ini, kita diberi suguhan minuman kopi khas Wae Rebo. Lumayan buat mendinginkan badan yang masih kedinginan. 
Ngopi dulu

Disambut oleh tetua-tetua Wae Rebo

Selesai beramah tamah dan foto bersama dengan para sesepuh Wae Rebo, saya dan rombongan semburat keluar rumah utama untuk mencari posisi pas buat jeprat jepret. Kehidupan sehari-hari warga Wae Rebo tidaklah berbeda jauh dengan kampung lainnya, mereka beraktivitas seperti menumbuk dan menjemur biji kopi. Bermain-main dengan anak-anak Wae Rebo juga tidak kalah serunya, kebanyakan sih malu-malu kalau difoto.
Anak-anak polos Wae Rebo
Numbuk kopi bareng ibu-ibu
 
Njemur-njemur
Hasil panen

Apa sih yang khas dari bangunan di Wae Rebo ?

Yang khas tentu saja struktur bangunan yang mempunyai fungsi dari tiap tingkatannya. Sebutan untuk rumah di Wae Rebo yaitu Mbaru Niang. Bentuknya unik seperti kerucut dengan atap yang terbuat dari daun lontar dan ditutupi ijuk seluruhnya. Sebuah rumah khas Wae Rebo atau Mbaru Niang terdiri dari lima tingkatan. Lantai dasar yang disebut lutur dipergunakan untuk memasak, tempat tidur maupun menerima tamu. Lalu di tingkatan kedua atau lobo digunakan untuk menyimpan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ditingkat ketiga atau lentar digunakan untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Tingkat keempat atau lempa rae untuk meletakkan stok pangan jika terjadi kekeringan. Dan yang terakhir, tingkat kelima atau hekang kode untuk tempat sesajian persembahan bagi leluhur.
Tingkat kedua Mbaru Niang

Di sini terdapat total 7 Mbaru Niang dan 1 buah Mbaru Niang ditujukan untuk rumah penginapan bagi wisatawan yang akan menginap disana. Di rumah penginapan ini, dijual juga kain-kain tenun khas Flores, rata-rata Rp. 500 ribuan ke atas. Dan di bagian belakangnya terdapat dapur yang biasa digunakan oleh ibu-ibu untuk memasak.
Kain yang dijual di Wae Rebo

Dapur

Mbaru Niang yang difungsikan untuk penginapan wisatawan

Selesai urusan foto-foto, saya dan rombongan dipersilahkan untuk makan. Menunya sederhana, nasi dan mie. Tapi nikmat banget. Nah, kalau sudah sampai sini, jangan lupa untuk meninggalkan jejak nama dan asal daerah di buku kunjungan tamu. Buat catatan sejarah hidup euy hehehe
Ibu-ibu Wae Rebo juga menjual kopi khas daerahnya. Kopi Wae Rebo dijual dengan harga 1 kg : Rp. 100 ribu, dan ½ kg : Rp. 50 ribu. Bisa untuk oleh-oleh maupun dikonsumsi sendiri. 
Keluarga besar yang heboh


Numpang nampang bersama anak-anak Wae Rebo

Menjelang siang, kita harus mengakhiri kunjungan di kampung ini, karena perjalanan pulang kembali ditempuh selama 4 jam dengan jalan kaki. Di perjalanan pulang ini, saya bisa melihat dengan jelas jalur trekking yang pagi-pagi buta sudah saya lewati ketika berangkat, seperti jurang disisi kanan jalan dengan lebar yang nggak sampai satu meter. Ditambah dengan kabut yang tiba-tiba datang, semakin menambah suasana “mencekam”. Ketika pulang, saya dan rombongan memang terpisah, ada yang pulang duluan dan jalannya cepat sehingga sudah nggak terlihat lagi jejaknya. Saya dan ketiga teman yang notabene cewek semua (Vera, tante Ruth) dan satu cewek si Carmen, tangguh banget nih cewek. Biasa mendaki gunung, lari marathon ckckck, untung ingatan jalur trekkingnya tajam luar biasa. Kita sempat berpapasan dengan rombongan anak-anak muda dari kampung Wae Rebo yang hendak kembali ke kampungnya sambil membawa bahan pokok makanan, seperti beras yang dipanggul di pundaknya dan babi yang berjalan di bagian depan. Dan mau nggak mau, saya pun harus berhenti karena si babi jalannya megal megol, pinggir jurang pula. Oya, mereka ini sekolah di Kombo, jadi sesekali mereka pulang ke Wae Rebo untuk sekedar menjenguk keluarganya. 
Beberapa kondisi jalan

Setelah melewati pos 1, saya kembali bertemu dengan Bapak asli Wae Rebo yang juga akan kembali ke kampungnya sambil membawa belanjaannya. Ayam yang dibawa si Bapak ini harganya membuat saya dan teman-teman kaget. Bayangkan harga seekor ayam adalah Rp. 100 ribu. Yang membuat kita salut adalah perjuangan mereka untuk naik turun selama 8 jam sekedar membeli kebutuhan pangan.  
Ayam yang seharga 100 ribu

Perjalanan turun dari Wae Rebo disambut dengan rintik-rintik hujan di tempat penginapan Pak Blasius. Dari Wae Rebo, saya lebih belajar lagi mengenai kearifan lokal dan kesederhanaan masyarakatnya. 
 
Wae Rebo, tunggu aku kembali.

Comments

  1. waow! Klo ayam seekor 100 ribu, lha "ijin" masuk ke Wae Rebo dipatok berapa?

    ReplyDelete
  2. ijinnya bayar sukarela. Tapi kalo dibandingin turis asing, mereka sptnya lebih besar dari yg kita bayar

    ReplyDelete
  3. Aduh kerennya Mbak ^^ Tapi susah juga ya jalur buat mereka membeli kebutuhan pokok

    ReplyDelete
  4. iya dweedy, naik turunnya nggak sebentar lho padahal. Mereka sudah biasa, jadinya mungkin nggak terlalu capek ya. Sini baru sekali, udah ngos ngosan rasanya

    ReplyDelete
  5. halo mbak ainun, saya ariel. salam kenal mbak! keren-keren banget fotonya selama di wae rebo. kalau boleh saya mau nanya beberapa pertanyaan nih mengenai wae rebo. saya kirim di sini aja atau via email ya? makasih banyak mbak!

    ReplyDelete
  6. salam kenal balik kk ariel. Langsung email saja ke ainunisnaeni@yahoo.co.id ya

    ReplyDelete
  7. halo ainun,
    wah.. aku masih rencana ke sini. masih menghitung jam terlama untuk jalan kaki nih. moga-moga kuat deh, hihi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo juga mb indri,
      aku termasuk nggak pernah olahraga sih mb apalagi jalan yang jauh. Tapi untuk waerebo dikuat2i hehehe. Semoga rencananya segera terwujud mb

      Delete
  8. aku mau nanya, yg soal foto2 tersebut. Apakah sebelum sampai di tujuan, sudah diinformasikan dulu oleh pemandunya? Saya soalnya tipe yang langsung foto2 begitu sampai. Tapi kalau ada pemberitahuan agar tidak melakukannya tanpa ijin, pasti akan saya turuti. Karena namanya saja ke area orang lain, apa yang jadi kebiasaan mereka kudu kita ikutin sbg pendatang.

    ReplyDelete
  9. Aku sedih, belum kesampaian ke Wae Rebo padahal dulu udah deket huhuhu. Untungnya untuk mengurangi rasa kecewa, sempat main ke Desa Todo yang di sana juga ada Niang alias rumah kerucutnya.

    Beruntung banget bisa ke Wae Rebo mbak, salah satu desa tercantik di dunia. Apalagi bisa berbaur dengan masyarakat sekitar. Bisa tidur, melihat cara mereka menjalani kegiatan, bisa saling tukar cerita sambil ngopi. Sejenak lepas dari hiruk pikuk dunia (yang terhubung dengan internet) kayak gini nikmat luar biasa.

    ReplyDelete
  10. Beruntung sekali ya mbaaa bisa menjelajah di wae rebo dan tinggal di rumah asli penduduk sana...
    Btw perjalnan yang lumayan panjang ya mba sampe 4 jam dan salutnya masyarakat disana juga sudah terbiasa..
    Barang belanjaan yang dibawa sudah melakukan perjalanan jauh harganya super mahal pula,,bandingkan dengan jawa duh :(

    ReplyDelete
  11. Ada kisah tergores mendalam di Waerebo dan perjalanan kesana penuh hal yang manis dan rindu untuk bisa kembali dengan menikmati kesederhanaanya beserta sambalnya yang super nikmat.

    ReplyDelete
  12. Seruuuu bgt ini cerita plesir ke Wae Rebo
    .
    apalagi gaya hidup masyarakat yg slow living tuh memunculkan kesan mereka punya kearifan lokal yg luar biasa ya mbaaa.

    kpn2 mauuu banget cuss ke Wae Rebo

    thanks artikelnya mbaa

    ReplyDelete
  13. Pertama tau wae rebo dari vlog Jalan2Men.. eh sekarang nemu lagi detailnya di blog mbak Ainun.
    Aku kepengen sih, sesekali mampir juga. Slow livingnya orang-orang sana tuh, kayaknya nikmaaat ya. Beda ama kita yang tiap hari senantiasa diburu-buru ini itu, hahaha

    Btw, itu anak-anaknya sekarnag berarti udah pada gede yaaa... udah 10 tahun yang lalu

    ReplyDelete
  14. Sebuah pengalaman yang menarik bisa langsung hidup bersama para penduduk di wae rebo, jadi bisa merasakan langsung bagaimana mereka hidup dan juga bisa berinteraksi dengan budaya yang amat berbeda dengan biasanya, itulah kenapa wae rebo menjadi salah satu destinasi impian banyak orang karena bisa menikmati pengalaman ini wae rebo menjadi salah satu destinasi impian banyak orang karena bisa menikmati pengalaman ini

    ReplyDelete
  15. Sumpah ini salah satu wishlist yang pengen aku kunjungi. Wae Rebo.
    Beberapa kali baca artikel teman-teman blogger yang ke sana, hati ini menangiiiss...soalnya pengen bangeett, hahaha. Tapi beneran ikut senang dan jadi terbuka banget wawasannya tentang kehidupan di sana, kenapa Wae Rebo menarik dan unik. Nggak semua orang beruntung punya experience berharga gini, keren mbak ainun!

    ReplyDelete
  16. Ka Ainun jalan di belakang babi?
    Tapi bukan babi hutan yang warnanya hitam besar itu kan?
    Aga horor yaa.. soalnya kalau liat video, mereka salah satu hewan agresif. Takut tiba-tiba bombastic side eye..

    Pinggir kanan kiri jurang iniii.. ditambah lagi dengan jarak pandang minimal..
    Kereen, ka Ainun bisa mengatasi perjalanan balik dari Wae Rebo.

    ReplyDelete
  17. Kalau udah turun kabut memang bikin deg-degan ya kak.
    Takut turu hujan atau gangguan cuaca lainnya.
    Alhamdulillah-nya aman semua ya kak.
    Sehingga bisa meninggalkan jejak sejarah manis di Wae Rebo, dan yang penting udah ngisi di buku tamu kan kak Ainun hehe. Karena bener juga sih, di sana jadi tahu pengunjungnya berasal dari mana aja

    ReplyDelete
  18. Keren bisa menginap di desa wisata Wae Rebo ini
    Denger-denger Desa Adat kaya gini mau kena gusur pemerintah dan dimodernisasi, mudah-mudahan ndak jadi ya
    Orang sana kalau mau masak protein hewani ngga langsung dari ternaknya mereka sendiri kah Mba?
    Kok harus belanja dulu sampai 8 jam, pasti ngga mudah mau belanja medannya juga sulit menuju kesana

    ReplyDelete
  19. Pesona Indonesia timur memang tak terelakkan ya. Apalagi masyarakat juga ramah dan Alhamdulillah rombongan mbak Ainun disambut dengan baik. Penasaran kopinya euy, harga kopi bubuk juga masih terjangkau.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar biar saya senang